Satu Jiwa Pancasila (Cerpen)

Satu Jiwa Pancasila
Oleh : Widia Kusuma Wardani


“kaki ini terus melangkah menyusuri indahnya negriku, negri yang semua orang tahu akan keindahannya, negri yang semua orang tahu akan kedamaian dan ketentraman yang ada di dalamnya, serta negri yang terdapat berbagai macam kebudayaan unik yang tersebar sampai ke penjuru tanah airku ini.
Tidakkah kalian semua mengerti akan arti dan makna semua keindahan serta keanekaragaman kita ini? Tidakkah kalian paham akan berbagai macam unsur-unsur pemersatu keanekaragaman kita ini? Disinilah kita mulai, disinilah kita mengenal akan semua potensi yang ada di dalam tanah air kita ini.”

“Dduuuuuaaarrr……..”
Suara pintu yang terhempas membuat pemikiran ku yang sedang menghapal lirik puisi itu membuyar, seketika aku berlari dari tempatku dan bergegas pergi ketempat sumber suara itu berasal. Disana, disudut ruangan itu aku melihat jeni dan dira sedang bercekcok, ntah apa yang terjadi aku tidak tahu.
Segera ku hampiri mereka untuk mencari tahu masalah apa yang sedang terjadi. Tapi, baru selangkah aku melangkahkan kaki ini, seseorang menarik dan menggenggam tanganku erat berusaha untuk menghentikan langkahku. Segera ku tolehkan wajahku tepat ke sampingku untuk memastikan siapa yang menghentikan langkahku. Mataku tercengang ketika aku melihat siapa yang menggenggam tanganku. “mas adi” suaruku lirih memanggilnya. Aku tak pernah membayangkan kalau mas adi akan datang untuk menggenggam tanganku, jantungku berdegup semakin cepat dan aku tak mampu untuk mengedipkan mataku, nafasku seketika berjalan dengan sangat lambat. “kamu jangan campuri urusan mereka.” Aku tak mengerti mengapa mas adi berbicara seperti itu, tapi aku tak menghiraukan perkataannya dan aku langsung melepaskan genggaman tangannya dan bergegas menuju tempat dimana jeni dan dira bertengkar.
Sesampainya disana aku mengetahui tentang permasalahn mereka, hanya akibat perbedaan pendapat mereka mampu memutuskan hubungan pertemanan, aku tak habis pikir apa yang telah mereka lakukan hari ini. Pasalnya, apa yang mereka putuskan sama sekali tak masuk dalam ranah pemikiranku, perbedaan pendapat itu adalah hal yang sangat wajar sekali terjadi. Tiba tiba pemikiranku berputar kepada sila Persatuan Indonesia, di dalam sila tersebut terkandung nilai bahwa kita adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yang mana bahwa kita disini walaupun memiliki banyak perbedaan terutama dalam berpedapat harus tetap bersatu. Sebagaimana yang kita ketahui tanah air kita ini merupakan suatu persekutan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk Negara yang didalamnya terdapat suku, ras, kelompok, golongan, maupun kelompok agama. Jadi perbedaan itu merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan cirri khas kita.
Jam di tanganku telah menunjukan pukul dua belas siang, dan sekarang waktunya aku untuk pulang kerumah dan melanjutkan aktivitasku dirumah. Aku berjalan menyusuri trotoar dimana biasanya aku harus menunggu bus. Aku merasa tenggorokanku sangat kering dan aku memutuskan berjalan kearah depan untuk mampir ke toko didepan halte untuk membeli minuman. Sesampainya aku disana, aku bertemu dengan dira, dan aku berbincang dengannya sambil menikmati minuman yang telah kami pesan. “boleh gabung” satu suara mengagetkan kami dan memecahkan canda tawa kami, disana kulihat jeni yang sedang berdiri sambil memegang minuman pesannya lengkap dengan pakaian seragam seperti yang kami gunankan juga. “oh ya silahkan jeni” jawabku singkat.
Beberapa menit tak ada obrolan satupun yang kami bahas, bahkan meja kami sangat terasa sunyi seperti tidak ada kehidupkan. “dir, aku minta maaf atas kejadian yang tadi” ucap jeni yang membuatku sontak kaget mendengar permintaan maaf darinya. Pasalnya, jeni yang selama ini ku kenal dan memiliki kepribadian yang sangat keras mampu mengakui kesalahnnya dan bersedia untuk meminta maaf. Dira dengan santai menyeruput kopi yang ia pesan, seperti tidak menghiraukan perkataan jeni. Dira semakin memperbesar volume iphone nya dan tidak memperdulikan jeni. Aku tak tahu harus berkata apa disini dan akhirnya kami hanya diam dan diam sampai ada orang keempat datang memecahkan suasa ini, ya itu yang aku harapkan. “gak usah minta maaf, aku tahu tadi itu kamu cuma kebawa emosi, santai aja.” Dan diralah orang yang kuharap, yang dapat memecahkan keheningan yang ada diantara kami, dan perkataan dira pun sangat mengagetkan. Tak ada sedikitpun dendam yang tertahan oleh dira atas kejadian itu. Aku senyum kearah jeni dan jeni menunjukan ekspresi lega.
Kami pun melanjutkan obrolan dengan penuh kehangatkan, sudah tidak ada lagi permasalah yang ada akibat perbedaan pendapat. Ditengah obrolan kami ini, aku kembali berpikir bahwa Indonesia ini adalah Negara yang sangat menakjubkan. Tuhan tidak hanya memberikan alam yang indah serta sumber daya yang melimpah, tetapi juga tuhan mengirimkan tokoh-tokoh pejuang yang sangat inspiratif sehingga mereka mampu membentuk dasar Negara yang sangat komplit.
Nilai-nilai pancasila sudah tertanam dalam setiap diri masyarakat Indonesia. Indonesia tetap mampu mempertahankan eksistensinya sebagai Negara yang memiliki banyak kebudayaan di dunia, ini karena adanya peran pancasila sebagai pemersatu.
Dalam perselisihan antar jeni dan dira, aku memetik satu makna yang sangat mendalam yaitu sebesar apa pun perselisihan yang terjadi, kita sesama manusia pasti bisa untuk memaafkan. Kita adalah satu bangsa, sifat dan karakter kita tak jauh berbeda dan kita juga sudah tertanam dalam jiwa nilai-nilai pancasila yang sudah tumbuh secara otomatis di dalam jiwa melalui proses pegaulan dan membelajaran di dalam masyyarakat. Sehingga apapun yang kita kerjalan dalam aktivitas bermasyarakat sudah secara otomatis mewakili sifat, nilai, dan peranan pancasila.
“wah, sungguh hebat pancasila ini” tanpa sadar aku mengeluarkan apa yang aku pikirkan, sontak jeni dan dira melihat kearahku dengan ekspresi bingung dan berbarengan berkata “kamu kenapa?” lamunanku buyar seketika mendengar pertanyaan mereka. “gapapa heee….”
Tanpa terasa kami menghabiskan waktu cukup lama untuk berbincang. Waktu pun berbicara bahwa kami harus berpisah dan melanjutkannya keesokan harinya. Kamipun berpencar untuk pulang ke arah rumah masing-masing.
Inilah Kita, Satu, Satu Jiwa, Jiwa Pancasila. Tidak Akan Pernah Terhapus Dalam Jiwa Dan Raga.

*end*

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

1 komentar:

eeitss.. Jangan lupa tinggalkan jejak komentarmu ya :)